TUGAS TOU1 MINGGU KE-2
TUGAS TOU1 MINGGU KE-2
KH. NOER ALI
Pahlawan Dari Bekasi
“Bangsa yang
besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya.” Bukan orang Bekasi namanya
kalau tak mengenal Sosok Pejuang sekaligus Ulama KH. Noer Alie, Ikon Perjuangan
di Tanah Bekasi dan menjadi kebanggaan masyarakatnya.
Sekilas Biografi dari sang Kyai
“Singa
Karawang-Bekasi” Sebagaimana biografi yang ditulis Ali Anwar, Noer Ali lahir
tahun 1914 di Kp.Ujungmalang (sekarang menjadi Ujungharapan), Kewedanaan
Bekasi, Kabupaten Meester Cornelis, Keresidenan Batavia. Ayahnya yang bernama
H. Anwar bin Layu adalah seorang petani dan ibunya bernama Hj. Maimunah binti
Tarbin. Meskipun ayah dari Noer Ali hanya sebagai petani, namun karena kemauan
keras untuk menuntut ilmu, Noer Ali pergi ke Mekah dengan meminjam uang dari
majikan ayahnya yang harus dibayar dicicil selama bertahun-tahun. Selama enam
tahun (1934-1940) Noer Ali belajar di Mekah. Saat di Mekah, semangat
kebangsaannya tumbuh ketika ia merasa dihina oleh pelajar asing yang mencibir:
“Mengapa Belanda yang negaranya kecil bisa menjajah Indonesia. Harusnya Belanda
bisa diusir dengan gampang kalau ada kemauan!”. Noer Ali pun “marah” dan
menghimpun para pelajar Indonesia khususnya dari Betawi untuk memikirkan nasib
bangsanya yang dijajah. Ia diangkat teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan
Pelajar Betawi di Mekah (1937).
Sekembalinya ke
tanah air, Noer Ali mendirikan pesantren di Ujungmalang. Ketika Indonesia
merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)
Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa
di Lapang Ikada Jakarta, Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam
mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya
menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam
pidato-pidatonya dalam Radio Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali
sehingga selanjutnya ia dikenal sebagai K.H. Noer Ali. Peranan pentingnya
muncul ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947. K.H. Noer Ali menghadap
Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di
Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI.
K.H. Noer Ali pun
kembali ke Jawa Barat jalan kaki dan mendirikan serta menjadi Komandan Markas
Pusat Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Saat itu, Belanda
menganggap tentara Republik sudah tidak ada. Noer Ali meminta rakyat Rawagede
untuk memasang ribuan bendera kecil-kecil dari kertas minyak ditempel di
pepohonan. Tentara Belanda (NICA) melihat bendera-bendera itu terkejut karena
ternyata RI masih eksis di wilayah kekuasaannya. Belanda mengira hal itu
dilakukan pasukan TNI di bawah Komandan Lukas Kustaryo yang memang bergerilya
di sana. Maka pasukan Lukas diburu dan karena tidak berhasil menemukan pasukan
itu, Belanda mengumpulkan rakyat Rawagede sekitar 400 orang dan kemudian
dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat sehingga banyak yang
kemudian bergabung dengan MPHS.
Kekuatan pasukan
MPHS sekitar 600 orang, malang melintang antara Karawang dan Bekasi, berpindah
dari satu kampung ke kampung lain, menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Di
situlah K.H. Noer Ali digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Ada juga yang
menyebutnya sebagai “Belut Putih” karena sulit ditangkap musuh. Sebagai kiai
yang memiliki karomah, Noer Ali menggunakan tarekat untuk memperkuat mental
anak buahnya. Ada wirid-wirid yang harus diamalkan, namun kadang-kadang anak
buahnya ini tidak taat.
Tahun 1948
Residen Jakarta Raya mengangkat K.H. Noer Ali sebagai Koordinator Kabupaten
Jatinegara. Ketika terjadi Perjanjian Renville, semua pasukan Republik harus
hijrah ke Yogyakarta atau ke Banten. Ia hijrah ke Banten melalui Leuwiliang,
Bogor. Di Banten, MPHS diresmikan menjadi satu baltalyon TNI di Pandeglang.
Saat akan dilantik, tiba-tiba Belanda menyerbu. Noer Ali pun bersama pasukannya
bertempur di Banten Utara sampai terjadinya Perjanjian Roem-Royen.
Dalam Konferensi
Meja Bundar yang mengakhiri Perang Kemerdekaan 1946-1949, Noer Ali diminta oleh
Mohammad Natsir membantu delegasi Indonesia. Selain itu, ia pun masuk ke luar
hutan untuk melakukan kontak-kontak dengan pasukan yang masih bertahan. Ketika
pengakuan kedaulatan ditandatangani Belanda, MPHS pun dibubarkan. Jasa-jasanya
selama masa perang kemerdekaan dihargai orang termasuk oleh A.H. Nasution, yang
menjadi Komandan Divisi Siliwangi waktu itu. Kemudian dimulailah perjuangan
K.H. Noer Ali dalam mengisi kemerdekaan melalui pendidikan maupun melalui jalur
politik.
Pemikiran Noer
Ali untuk memajukan pendidikan di negeri ini, sebenarnya sudah dimulai sejak ia
mendirikan pesantren sepulang dari Mekah. Setelah merdeka, peluang lebih
terbuka. Tahun 1949, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Islam di Jakarta.
Selanjutnya Januari 1950 mendirikan Madrasah Diniyah di Ujungmalang dan
selanjutnya mendirikan Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) di berbagai tempat di
Bekasi, kemudian juga di tempat lain, hingga ke luar Jawa.
KH. Noer Alie -
Pahlawan Nasional dari BekasiDi lapangan politik, peran Noer Ali memang
menonjol. Saat Negara RIS kembali ke negara kesatuan, ia menjadi Ketua Panitia
Amanat Rakyat Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Tahun 1950, Noer Ali
diangkat sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara. Tahun 1956, ia diangkat
menjadi anggota Dewan Konstituante dan tahun 1957 menjadi anggota Pimpinan
Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Tahun 1958 menjadi Ketua Tim Perumus
Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung, yang kemudian
melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat.
Tahun 1971-1975
menjadi Ketua MUI Jawa Barat. Di samping itu, sejak 1972 menjadi Ketua Umum
Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Dalam perkembangan
selanjutnya, ia bersikap sebagai pendamai, tidak pro satu aliran. Dengan para
kiai Muhammadiyah, NU, maupun Persis, ia bersikap baik.
Pandangan Saya terhadap sosok pemimpin
Bagi saya,
pemimpin itu harus bisa menjaga apa yang telah dipunya dengan sebaik mungkin,
mau dan mampu mendapatkan apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya, menjadi panutan
yang baik, memajukan seluruh aspek kehidupan dari rakyat yang dipimpinnya, bersikap
toleran, jujur, adil, tak pandang bulu, harus bisa mencari jalan keluar untuk
setiap objek permasalahan yang dihadapi, program yang diusungkannya adalah
program yang telah dipikirkan secara matang dan semata-mata untuk kepentingan
rakyatnya, membuat sistem yang mensejahterakan seluruh rakyat dan bukan untuk
mensejahterakan pribadi dan atau golongan.
0 komentar: